MERAHPUTIHKU.com, MAKASSAR — Di tengah hiruk pikuk Makassar yang semakin padat, sebuah warung kopi sederhana di Jalan Tarakan menjadi ruang singgah yang berbeda. Namanya Warkop Siama. Dari luar, warkop ini tampak biasa saja—meja kayu, kursi plastik, dan aroma kopi yang mengepul dari cerek aluminium. Namun, siapa sangka, di balik kesederhanaan itu tersimpan pengalaman yang tidak bisa ditawarkan oleh warkop lain: racikan kopi bercita rasa khas dan terapi alami dari tangan sang pemilik, Musa Ibrahim.
Kopi yang Diracik dengan “Sentuhan Alam”
Musa Ibrahim bukanlah barista yang belajar di sekolah formal, apalagi lulusan pelatihan kopi modern. Ia adalah peracik kopi otodidak yang mengandalkan kepekaan rasa dan pengalaman panjang. Baginya, kopi bukan sekadar minuman pengusir kantuk, melainkan medium untuk menyatukan orang, membuka percakapan, sekaligus memberi energi bagi tubuh.
“Kopi itu kalau diracik dengan hati, rasanya berbeda. Saya tidak ingin sekadar menjual minuman, tapi menghadirkan suasana,” ujar Musa ketika ditemui di sela-sela kesibukannya melayani pengunjung.
Pengunjung yang datang sering mengaku bahwa kopi di Warkop Siama terasa lebih halus di lambung, aromanya lembut, dan meninggalkan sensasi hangat setelah diteguk. Beberapa bahkan menyebut racikan Musa berbeda dari kopi warkop kebanyakan.
Terapi Alami: Bakat yang Menyertai Kopi
Namun, keunikan Warkop Siama tidak berhenti di secangkir kopi. Musa Ibrahim ternyata memiliki kemampuan bawaan yang jarang dimiliki orang lain: terapi alami dengan sentuhan tangan. Ia kerap membantu pengunjung yang mengeluh pegal, sakit kepala, atau rasa tidak nyaman di tubuh.
Bakat ini, menurut Musa, sudah ada sejak ia muda. Awalnya ia hanya membantu keluarga dan tetangga, namun semakin lama, semakin banyak orang yang merasakan manfaatnya. Kini, pengunjung warkop pun sering mendapatkan terapi itu, kadang tanpa diminta.
“Kadang orang datang hanya mau minum kopi, eh malah saya bantu kalau terlihat sedang sakit atau capek. Saya senang kalau bisa membuat orang merasa lebih baik,” kata Musa sambil tersenyum ramah.
Eka, salah seorang pelanggan, mengaku sudah beberapa kali merasakan langsung manfaat terapi Musa. “Saya biasanya ke sini sore-sore. Kopinya enak, tapi yang bikin beda itu karena ada tambahan terapi. Rasanya badan lebih enteng. Tempat ini jadi semacam ruang istirahat buat saya,” ujarnya.
Ruang Singgah yang Humanis
Di saat banyak warkop berlomba menghadirkan desain modern nan instagramable, Warkop Siama justru menonjolkan kesederhanaan. Meja kayu yang sudah mengilap karena sering dipakai, kursi plastik yang tersusun rapi, dan suasana akrab antar-pengunjung menciptakan atmosfer berbeda: lebih intim dan hangat.
Di sini, Musa bukan sekadar pemilik warkop. Ia sekaligus pendengar, sahabat, dan bahkan “terapis” bagi orang-orang yang singgah. Tidak sedikit pelanggan yang datang bukan hanya untuk ngopi, melainkan untuk berbagi cerita, mencari nasihat, atau sekadar melepas penat.
“Kalau di warkop lain saya hanya minum dan pergi, di sini saya bisa duduk lama. Pak Musa itu sosok yang ramah, bisa diajak bicara apa saja,” kata Jamal, pengunjung setia.
Menjaga Warisan, Merawat Kebersamaan
Musa Ibrahim tidak tergoda dengan tren minuman kekinian yang marak di pasaran. Ia tetap mempertahankan kopi sebagai pusat dari warkopnya. Menurutnya, kopi adalah warisan rasa yang tidak boleh hilang hanya karena mengikuti mode sesaat.
“Saya ingin kopi tetap apa adanya. Sederhana, tapi penuh makna. Karena kopi bukan cuma soal rasa, tapi juga kebersamaan,” ujarnya penuh keyakinan.
Dan memang, Warkop Siama bukan sekadar tempat menyeruput kopi. Ia telah tumbuh menjadi ruang kebersamaan yang memadukan hangatnya obrolan, nikmatnya kopi, dan terapi alami yang menenangkan tubuh.
Lebih dari Warkop Biasa
Perlahan tapi pasti, nama Warkop Siama mulai dikenal di kalangan penikmat kopi Makassar. Bukan karena kemewahan tempatnya, melainkan karena keunikan pengalaman yang ditawarkan. Orang datang bukan hanya untuk minum kopi, melainkan juga mencari suasana berbeda yang menyatukan rasa, jiwa, dan tubuh.
Di Jalan Tarakan yang ramai, Warkop Siama berdiri sebagai simbol kecil bahwa warung kopi bisa lebih dari sekadar ruang singgah. Ia bisa menjadi tempat healing, ruang pertemuan, sekaligus rumah kedua.
Bagi Musa Ibrahim, semua itu adalah bagian dari panggilan hidupnya. “Kalau kopi bisa bikin orang betah, dan tangan saya bisa bikin orang sehat, kenapa tidak saya jalani keduanya? Itu sudah cukup membuat saya bahagia,” tutupnya.(*)